Sejarah Ekonomi Kreatif di Indonesia


Memetakan sejarah ekonomi kreatif di Indonesia berarti melakukan kilas balik ke masa satu dekade silam ketika studi mengenai keberadaan industri kreatif mulai dilakukan. Studi itu dihelat pertama kali oleh Departemen Perdagangan Republik Indonesia (Depdagri) pada tahun 2007. Pertimbangan kuat perihal urgensi dilakukannya studi ini adalah keberadaan sektor industri kreatif di beberapa negara yang berkontribusi besar pada jumlah gross domestic product (GDP) dan pertumbuhan industri kreatif itu sendiri yang berlangsung relatif tinggi.

Di Singapura, misalnya, industri kreatif menyumbang nilai GDP sebesar 2,8 persen dengan tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor ini sebesar 3,4 persen. Di Inggris, kontribusi pada GDP sebesar 7,9 persen dengan tingkat pertumbuhan mencapai 16 persen.

Keberadaan industri kreatif yang tidak lagi dipandang sebelah mata ini kemudian mengubah paradigma ekonomi dunia. Awalnya, ekonomi dunia digerakkan dengan komoditas dominan merupakan hasil pertanian. Sehingga pada masa tersebut dikenal sebagai ekonomi agraris atau ekonomi pertanian.

Seiring ditemukannya mesin uap, disusul dengan revolusi industri di Inggris, mengubah paradigma ekonomi pertanian ini menjadi ekonomi industri. Pada fase ini, industri bergerak pada sektor-sektor manufaktur dimana mesin-mesin mulai menggantikan peran manusia. Negara-negara maju dihuni oleh negara-negara raksasa industri. Sebaliknya, negara miskin atau dikenal dengan negara dunia ketiga, sebagian besar masih mengandalkan ekonomi pertanian.

Kemudian, kemajuan teknologi komunikasi dan informasi berhasil mengubah peta dunia. Dunia seakan dibuat tanpa mengenal batas-batas territorial sebagaimana yang terjadi pada fase ekonomi indsutri dan ekonomi pertanian. Sekat-sekat negara itu hilang akibat ditembus oleh arus informasi yang deras karena keberadaan jaringan internet. Pada era ini, pemenang kompetisi ditentukan oleh siapa yang menguasai informasi. Sehingga pada akhirnya, paradigma yang berlaku disebut sebagai ekonomi informasi.

Kini, muncul pandangan bahwa ekonomi tak seharusnya terus bergantung kepada keberadaan bahan baku, jarak distribusi, modal kapital dan sebagainya. Sebagai alternatif, muncul gagasan bahwa gagasan atau ide adalah modal itu sendiri. Sehingga yang diperlukan adalah memperluas ekonomi ke sektor layanan atau sektor jasa. Dengan demikian, keberadaan barang modal dalam bentuk fisik mulai direduksi.

Pandangan ini menilai, ruh utama untuk melahirkan gagasan itu adalah adanya kreatifitas. Kreatifitas lalu menjadi pijakan utama dalam membangun kota yang mampu menyelesaikan permasalah kota dengan cara yang kreatif serta mengubah kesulitan-kesulitan menjadi kesempatan-kesempatan. Pandangan ini sekarang kita kenal sebagai paradigma ekonomi kreatif.

Ekonomi kreatif memusatkan diri pada dinamika ekonomi di sektor industri kreatif. Sebagaimana dikemukakan di awal, industri kreatif yang kini mulai menampakkan tajinya, menjadi semacam isu seksi yang diperbincangkan dan diupayakan di banyak negara. Salah satunya Indonesia yang mengawali perhelatan di sektor kreatif dengan mengadakan studi yang digelar Depdagri.

Hasilnya, industri kreatif pada periode 2002-2006 berhasil menyumbang GDP Indonesia sebesar Rp104,638 Triliun. Jumlah itu menempatkan sektor industri kreatif di posisi 7 dari 10 sektor yang dianalisis. Dengan kata lain, ia berada di atas rata-rata kontribusi di sektor pengangkutan dan komunikasi; bangunan; serta listrik, gas, dan air bersih.

Pada kurun waktu yang sama, sektor industri kreatif mampu menyerap rata-rata sebesar 5,4 juta pekerja pertahunnya. Pada tahun 2006, sektor ini memiliki perusahaan sebanyak 2,2 juta atau sekitar 5,17 persen dari jumlah total perusahaan di Indonesia. Di tahun yang sama, sektor ini sukses membukukan nilai ekspor sebesar Rp81,5 triliun atau setara 9,13 persen dari nilai total ekspor nasional.

Selain itu, dalam kajian tersebut juga disebutkan 14 subsektor untuk sektor industri kreatif, antara lain: periklanan; arsitektur; pasar seni dan barang antik; kerajinan; desain; fashion (mode); film, video, dan fotografi; permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan piranti lunak; radio dan televisi; serta riset dan pengembangan.

Depdagri merespons hasil studi itu dengan menerbitkan “Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009-2015” pada tahun 2008. Rencana itu mendapat dukungan dari presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan memberikan payung hukum bagi ke-14 subsektor tersebut berupa Instruksi Presiden RI Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif.

Berikutnya, pengembangan ekonomi di sektor kreatif masih terus dilakukan dengan memasukkan sektor pariwisata ke dalam bagian 22 Kegiatan Ekonomi Utama yang tertuang dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI).

Pada era kepemimpinan Joko Widodo, sektor kreatif diwadahi ke dalam satu badan khusus bernama Badan Ekonomi Kreatif yang diketuai oleh Triawan Munaf.[]

2 comments:

  1. makasih, blognya membantu untuk tugas kuliah

    ReplyDelete
  2. Mantap, penjelasannya terstruktur dari fase awal ekonomi

    ReplyDelete