Seorang dosen bertanya kepada saya, seperti apa ekonomi kreatif itu sesungguhnya? Apakah pedagang kaki lima (PKL) yang mangkal di sejumlah festival, pameran, atau pertunjukkan itu disebut ekonomi kreatif atau seperti apa?
Secara konseptual, saya menyangkal jika PKL disebut sebagai ekonomi kreatif. Kendati kuliner oleh UNESCO Creative Cities Network (UCCN) dimasukkan ke dalam salah satu kelompok tema kota kreatif, misalnya gastronomy. Namun, elemen kreatif dalam PKL tidak nampak menonjol.
Lalu, bagaimana konstruksi ekonomi kreatif itu berdiri? Inti ekonomi kreatif adalah adanya pertukaran ekonomi dari ide-ide segar yang ditawarkan oleh kelompok kreatif dan konsumennya atau penikmatnya. Kelompok kreatif menciptakan pertunjukkan, festival, konser, pameran, hingga produk-produk kreatif lainnya untuk dijual kepada masyarakat yang jadi penikmatnya. Lantas, masyarakat dengan sukarela membeli apa yang disajikan oleh kelompok kreatif itu. Hasilnya, masyakarat mendapat kepuasan dari jasa/produk yang dibelinya. Sementara, penjual mendapat pendapatan dari acara atau barang dibuatnya.
Ada uang yang berputar di sana. Uang itulah yang menghidupi kelompok kreatif untuk terus berkarya. Eksesnya adalah lahirnya kreativitas masyarakat yang memiliki nilai bisnis. Bisnis-bisnis berbasis kreatif itu terakumulasi dan menghidupkan perekonomian kota. Lalu, lahirlah ekonomi kreatif. Locus berdirinya ekonomi kreatif itu kita sebut sebagai kota kreatif. Secara lebih sederhana, kota menjadi pasar tempat bertemunya para kreator kreatif dan para penikmat kreativitas. (Baca: Sejarah Ekonomi Kreatif di Indonesia)
Apakah semakin banyak festival, pameran, dan pertunjukkan kreatif membuat sebuah kota layak untuk disebut kota kreatif? Jawaban atas pertanyaan ini bisa sangat subjektif. UCCN sendiri memiliki indikator khusus untuk menentukan sebuah kota apakah sebuah layak disebut sebagai kota kreatif dan menjadi bagian dari UCCN atau tidak. (Baca: Inilah 18 Indikator KotaKreatif Versi UNESCO).
Namun, saya berpendapat, semakin banyak event kreatif digelar di sebuah kota belum tentu kota itu layak menjadi kota kreatif. Sebab, pondasinya adalah dengan menjawab apakah event kreatif di kota itu sudah menjadi ladang bisnis atau sekadar untuk perayaan atau seremoni saja.
Jika selama ini event-event digelar itu masih melibatkan sokongan finansial dari kota, dari pemerintah misalnya, tentu event itu bukanlah bisnis. Bisa saja kita menyebutnya sebagai charity atau upacara peringatan. Mudah saja melihatnya, apakah event itu digelar gratisan atau ada harga tiket yang dibebankan kepada para penikmat event.
Kita tidak bisa meninggalkan pondasi utama ekonomi kreatif adalah keberlangsungan bisnis di bidang kreatif. Ada hitungan untung rugi dan ada ekspektasi kepuasan dari para konsumen atau pengunjung. Jika untuk menikmati saja gratisan, bagaimana bisa menyebut sebuah event itu sebagai bisnis?
Bisnis ini yang kemudian melahirkan kompetisi di kalangan kelompok kreatif untuk terus melahirkan ide-ide baru yang menarik dan bisa memuaskan hasrat konsumennya. Seperti hukum ekonomi, ada permintaan, ada penawaran. Siapa yang berhasil memuaskan permintaan konsumen, dialah pemenang pasar.
Contoh paling sederhana untuk menggambarkan ekonomi kreatif, misalnya konser musik. Ada sebuah band atau sekelompok penyanyi manggung di kota. Tempatnya tidak melulu di alun-alun, gedung pertnjukkan atau stadion. Tapi, bisa di taman, bisa city walk, atau hutan kota.
Band atau penyanyi kemudian menghibur para penonton dengan lagu-lagunya. Sementara, pengunjung yang ingin menikmatinya dibebankan sejumlah biaya tiket. Penonton terhibur dan band senang karena mendapatkan income dari manggungnya.
Bayangkan jika di satu kota ada setidaknya 4 konser musik selama sebulan. Artinya, setiap akhir pekan ada satu konser musik digelar. Berapa perputaran uang yang berlangsung di kota itu? Konon, konser Bon Jovi di Jakarta belakangan ini sukses menambah pundi-pundi mereka sebesar Rp10 miliar.
Untuk menarik pengunjung/penikmat, para penyanyi dan band itu lantas berkompetisi untuk menciptakan lagu-lagu yang bagus, lagu-lagu yang disukai penikmat musik. Di sinilah kekuatan kreatif itu bermain dan bertaruh.
Inilah bisnis. Ada kompetisi kualitas, ada uang yang harus diraih, dan ada kepuasan dari para penikmatnya. Selain itu, ada multiplier effect yang ditimbulkan. Inilah ekonomi kreatif.
0 comments:
Post a Comment