Pekalongan, Kota Kreatif Pertama di Indonesia


Sebuah momen mengejutkan datang dari jagad kota kreatif Indonesia. Per 1 Desember 2014, Kota Pekalongan resmi menjadi anggota UNESCO Creative Cities Network (UCCN) bersama dengan 68 kota lainnya. Pekalongan dinobatkan menjadi Kota Kreatif bidang Kerajinan dan Kesenian Rakyat (Ceative City of Cratfs and Folk Arts).

Fenomena ini menjadikan Pekalongan sebagai kota kreatif pertama di Indonesia bahkan di Asia Tenggara. Mengapa Pekalongan bisa menjadi kota kreatif “mengalahkan” tiga kota lainnya di Indonesia, seperti: Bandung, Yogyakarta, dan Solo?

Otoritas Pekalongan, sebagaimana dilansir cnnindonesia.com (baca: Alasan Pekalongan Dipilih Jadi Kota Kreatif UNESCO), mengungkapkan, Pekalongan sudah sejak lama dikenal sebagai Kota Batik. Perekonomian kota ditumpu dari bisnis batik. Tak heran jika di Pekalongan saat ini terdapat setidaknya 830 UKM yang memproduksi berbagai motif, bahan, dan warna khas batik Pekalongan.

Motif batik Pekalongan merupakan refleksi keberagaman budaya yang hidup dan tumbuh di sana. Hal inilah yang mendorong Pekalongan menghasilkan motif yang beragam namun tetap luwes. Kendati demikian, Pekalongan memiliki motif khusus yang menjadi khas Pekalongan, yaitu jlamprang.

Laman resmi UNESCO menyampaikan ulasan mengenai kepedulian Pekalongan dalam pelestarian batik Pekalongan. UNESCO menulis, “Pelestarian dan pengembangan budaya Batik serta sekeliling kampong-kampung kerajinan batik menjadi prioritas kota Pekalongan. Museum Batik dan kedekatan workshops untuk para siswa membentuk sebuah pusat kesenian yang penting dan dikenal sebagai sebuah laku pelestarian warisan non-ragawi terbaik.”

UNESCO juga memuji Pekalongan sebagai “sebuah contoh unggulan bagaimana pembangunan berbasis budaya bisa mendukung warga, secara khusus perempuan, dalam membangun aktivitas yang menghasilkan pendapatan yang layak dan mampu meningkatkan kualitas hidup mereka.”

Menurut penilaian UNESCO, Kota Pekalongan sebagai Kota Kreatif Kerajinan dan Kesenian Rakyat, memiliki pandangan:
  1. Pelestarian tradisi batik dan kombinasi unik antara seni, kerajinan dan menghasilkan pendapatan untuk warga Pekalongan.
  2. PPengembangan infrastruktur ekonomi, sosial, budaya yang terhubung kepada proses pembuatan batik.
  3. Penguatan institusi-institusi terkait serta mendukung pengembangan pengetahuan dan teknologi dalam rangka menstimulasi pendidikan Batik, dan untuk pelestarian dan pengembangan budaya batik. 
  4. Membina ekonomi kreatif melalui dukungan klaster dan pusat-pusat terspesialisasi dalam batik sama baiknya dengan meningkatkan upaya untuk mempromosikan batik pada level lokal, nasional maupun global.
  5. Membuat jaringan kolaboratif dengan akademisi, stakeholders pemerintah dan masyarakat sipil dalam bidang industri batik.
  6. Mempromosikan industri batik yang ramah lingkungan.
  7. Mengembangkan teknologi komunikasi dan informasi guna mendukung pengembangan sektor batik.
Perhatian Pekalongan pada sektor batik dilandasi oleh sejarah bahwa Kota Pekalongan merupakan kota batik pada abad ke-19. Di sisi lain, UNESCO telah menetapkan batik sebagai bagian dari warisan dunia yang harus dilestarikan. Kendati sama-sama mengklaim sebagai kota batik, mengapa Kota Solo tidak turut ditetapkan sebagai kota kreatif UNESCO?

Jawaban atas pertanyaan ini akan saya ulas di lain waktu.

Sumber foto: http://en.unesco.org/creative-cities/

Apakah PKL Termasuk Ekonomi Kreatif?


Seorang dosen bertanya kepada saya, seperti apa ekonomi kreatif itu sesungguhnya? Apakah pedagang kaki lima (PKL) yang mangkal di sejumlah festival, pameran, atau pertunjukkan itu disebut ekonomi kreatif atau seperti apa?

Secara konseptual, saya menyangkal jika PKL disebut sebagai ekonomi kreatif. Kendati kuliner oleh UNESCO Creative Cities Network (UCCN) dimasukkan ke dalam salah satu kelompok tema kota kreatif, misalnya gastronomy. Namun, elemen kreatif dalam PKL tidak nampak menonjol.

Lalu, bagaimana konstruksi ekonomi kreatif itu berdiri? Inti ekonomi kreatif adalah adanya pertukaran ekonomi dari ide-ide segar yang ditawarkan oleh kelompok kreatif dan konsumennya atau penikmatnya. Kelompok kreatif menciptakan pertunjukkan, festival, konser, pameran, hingga produk-produk kreatif lainnya untuk dijual kepada masyarakat yang jadi penikmatnya. Lantas, masyarakat dengan sukarela membeli apa yang disajikan oleh kelompok kreatif itu. Hasilnya, masyakarat mendapat kepuasan dari jasa/produk yang dibelinya. Sementara, penjual mendapat pendapatan dari acara atau barang dibuatnya.

Ada uang yang berputar di sana. Uang itulah yang menghidupi kelompok kreatif untuk terus berkarya. Eksesnya adalah lahirnya kreativitas masyarakat yang memiliki nilai bisnis. Bisnis-bisnis berbasis kreatif itu terakumulasi dan menghidupkan perekonomian kota. Lalu, lahirlah ekonomi kreatif. Locus berdirinya ekonomi kreatif itu kita sebut sebagai kota kreatif. Secara lebih sederhana, kota menjadi pasar tempat bertemunya para kreator kreatif dan para penikmat kreativitas. (Baca: Sejarah Ekonomi Kreatif di Indonesia)

Apakah semakin banyak festival, pameran, dan pertunjukkan kreatif membuat sebuah kota layak untuk disebut kota kreatif? Jawaban atas pertanyaan ini bisa sangat subjektif. UCCN sendiri memiliki indikator khusus untuk menentukan sebuah kota apakah sebuah layak disebut sebagai kota kreatif dan menjadi bagian dari UCCN atau tidak. (Baca: Inilah 18 Indikator KotaKreatif Versi UNESCO).

Namun, saya berpendapat, semakin banyak event kreatif digelar di sebuah kota belum tentu kota itu layak menjadi kota kreatif. Sebab, pondasinya adalah dengan menjawab apakah event kreatif di kota itu sudah menjadi ladang bisnis atau sekadar untuk perayaan atau seremoni saja.

Jika selama ini event-event digelar itu masih melibatkan sokongan finansial dari kota, dari pemerintah misalnya, tentu event itu bukanlah bisnis. Bisa saja kita menyebutnya sebagai charity atau upacara peringatan. Mudah saja melihatnya, apakah event itu digelar gratisan atau ada harga tiket yang dibebankan kepada para penikmat event.

Kita tidak bisa meninggalkan pondasi utama ekonomi kreatif adalah keberlangsungan bisnis di bidang kreatif. Ada hitungan untung rugi dan ada ekspektasi kepuasan dari para konsumen atau pengunjung. Jika untuk menikmati saja gratisan, bagaimana bisa menyebut sebuah event itu sebagai bisnis?

Bisnis ini yang kemudian melahirkan kompetisi di kalangan kelompok kreatif untuk terus melahirkan ide-ide baru yang menarik dan bisa memuaskan hasrat konsumennya. Seperti hukum ekonomi, ada permintaan, ada penawaran. Siapa yang berhasil memuaskan permintaan konsumen, dialah pemenang pasar.

Contoh paling sederhana untuk menggambarkan ekonomi kreatif, misalnya konser musik. Ada sebuah band atau sekelompok penyanyi manggung di kota. Tempatnya tidak melulu di alun-alun, gedung pertnjukkan atau stadion. Tapi, bisa di taman, bisa city walk, atau hutan kota.

Band atau penyanyi kemudian menghibur para penonton dengan lagu-lagunya. Sementara, pengunjung yang ingin menikmatinya dibebankan sejumlah biaya tiket. Penonton terhibur dan band senang karena mendapatkan income dari manggungnya.

Bayangkan jika di satu kota ada setidaknya 4 konser musik selama sebulan. Artinya, setiap akhir pekan ada satu konser musik digelar. Berapa perputaran uang yang berlangsung di kota itu? Konon, konser Bon Jovi di Jakarta belakangan ini sukses menambah pundi-pundi mereka sebesar Rp10 miliar.

Untuk menarik pengunjung/penikmat, para penyanyi dan band itu lantas berkompetisi untuk menciptakan lagu-lagu yang bagus, lagu-lagu yang disukai penikmat musik. Di sinilah kekuatan kreatif itu bermain dan bertaruh.

Lalu, band atau penyanyi itu meluncurkan album. Lalu, berkembanglah industri rekaman yang berlomba-lomba menghasilkan rekaman terbaik. Lalu, berkembanglah distributor kaset/CD. Lalu, berkembanglah bisnis video dan fotografi, bisnis desain, dan bisnis-bisnis yang bersinggungan lainnya.

Inilah bisnis. Ada kompetisi kualitas, ada uang yang harus diraih, dan ada kepuasan dari para penikmatnya. Selain itu, ada multiplier effect yang ditimbulkan. Inilah ekonomi kreatif.

Inilah 18 Indikator Kota Kreatif Versi UNESCO

Sejak didirikan tahun 2004, UNESCO Creative City Network terus meningkatkan cakupan jejaringnya ke seluuruh dunia. Per Desember 2014, terhitung terdapat 69 kota kreatif dari 32 negara dengan 7 bidang kreatif. Lalu, seperti apakah indicator kota kreatif yang ditetapkan oleh UNESCO?

Dikutip dari laman resmi https://en.unesco.org/creative-cities/, UNESCO melansir sejumlah indikator kota kreatif yang harus dipenuhi oleh semua kota yang mengajukan aplikasi ke UNESCO. Ke-18 indikator kota kreatif itu antara lain: pertama, peran dan dasar-dasar bidang kreatif dalam sejarah kota.

Kedua, pentingnya ekonomi dan dinamika sektor budaya dan, jika mungkin, dari bidang kreatif yang menjadi perhatian: data pada kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi dan lapangan kerja di kota, jumlah perusahaan budaya, dan lain-lain.

Ketiga, pameran, konferensi, konvensi, dan peristiwa nasional dan atau internasional lainnya yang diselenggarakan oleh kota selama lima tahun terakhir, ditujukan untuk para professional di bidang kreatif yang menjadi perhatian (pencipta, produsen, pemasar, promotor, dan lain-lain.)

Keempat, festival, konvensi, dan acara skala besar lainnya yang diselenggarakan oleh kota dalam lima tahun terakhir di bidang kreatif yang menjadi perhatian dan ditujukan pada penonton lokal, nasional, dan atau internasional.

Kelima, mekanisme, kursus, dan program untuk mempromosikan pendidikan kreativitas dan seni bagi kaum muda di bidang kreatif yang menjadi perhatian, baik dalam sistem pendidikan formal maupun informal.

Keenam, belajar seumur hidup, pendidikan tinggi, sekolah kejuruan, sekolah musik dan drama, residensi dan pembentukan pendidikan tinggi lainnya yang mengkhususkan diri di bidang kreatif yang menjadi perhatian.

Ketujuh, pusat penelitian dan program di bidang kreatif yang menjadi perhatian.

Kedelapan, ruang dan pusat kreasi yang diakui, produksi, dan penyebaran kegiatan barang dan jasa di bidang kreatif yang menjadi perhatian, di tingkat profesional (misalnya inkubator perusahaan budaya, kamar dagang).

Kesembilan, fasilitas utama dan ruang-ruang budaya  yang didedikasikan untuk berlatih, promosi, dan sosialisasi di bidang kreatif yang menjadi perhatian dan ditujukan untuk masyarakat umum dan atau pemirsa tertentu (pemuda, kelompok rentan, dan lain-lain.).

Kesepuluh, menunjukkan maksimal tiga program atau proyek yang dikembangkan oleh kota dalam lima tahun terakhir untuk mempromosikan partisipasi yang lebih luas dalam kehidupan budaya, khususnya di bidang kreatif yang menjadi perhatian, terutama yang ditujukan kelompok sosial yang rentan atau tidak beruntung.

Kesebelas, menunjukkan maksimal tiga program atau proyek yang dikembangkan dalam lima tahun terakhir di bidang kreatif yang bersangkutan yang telah membantu dan atau memperkuat hubungan kerja sama antara kota, sektor swasta, pencipta, masyarakat sipil, dan atau akademisi.

Kedua belas, peran profesional utama dan organisasi masyarakat sipil non-pemerintah yang aktif dalam kota di bidang kreatif yang menjadi perhatian.

Ketiga belas, kebijakan dan langkah-langkah utama yang dilakukan kota dalam lima tahun terakhir untuk meningkatkan status pencipta dan mendukung karya kreatif khususnya di bidang kreatif yang menjadi perhatian.

Keempat belas, kebijakan dan langkah-langkah utama yang dilakukan oleh kota dalam lima tahun terakhir untuk mendukung pendirian dan pengembangan industri budaya lokal yang dinamis di bidang kreatif yang menjadi perhatian.

Kelima belas, inisiatif kerjasama internasional utama di bidang kreatif yang menjadi perhatian, dikembangkan dengan kota dari berbagai Negara dalam lima tahun terakhir.

Keenam belas, mekanisme dukungan, program, dan proyek yang dilakukan oleh kota dalam lima tahun terakhir dengan mendirikan sinergi antara bidang kreatif yang menjadi perhatian dengan sedikitnya satu bidang kreatif lainnya yang difasilitasi oleh jaringan (cross-cutting atau proyek lintas sektoral).

Ketujuh belas, inisiatif kerjasama internasional dan atau kemitraan yang dikembangkan dalam lima tahun terakhir yang melibatkan sedikitnya dua dari tujuh bidang kreatif yang difasilitasi oleh jaringan (cross-cutting atau proyek lintas sektoral).

Terakhir, fasilitas utama dan ketersediaan infrastruktur dan acara, seperti pameran, konferensi, dan konvensi, yang diselenggarakan oleh kota dalam lima tahun terakhir dengan tujuan mempromosikan bidang kreatif yang dicakup oleh jaringan daripada bidang kreatif utama yang menjadi perhatian oleh aplikasi.

Semua kota yang memenuhi indikator tersebut akan bergabung menjadi bagian dari anggota UNESCO Creative Cities Network (UCCN). Menurut Mission Statement Bologna Creative Cities Meeting, Creative Cities Network ini bertujuan untuk memperkuat kreasi, produksi, distribusi dan menikmati barang-barang dan layanan budaya pada level lokal.

Selain itu, mempromisikan kreativitas dan ekpresi kreatif khususnya di tengah kelompok rentan, termasuk perempuan dan generasi muda; meningkatkan akses dan partisipasi dalam dan untuk kehidupan budaya sama baiknya dengan menikmati barang-barang budaya itu sendiri; serta mengintegrasikan budaya dan industri kreatif ke dalam rencana pembanguan lokal.[]

Sejarah Ekonomi Kreatif di Indonesia


Memetakan sejarah ekonomi kreatif di Indonesia berarti melakukan kilas balik ke masa satu dekade silam ketika studi mengenai keberadaan industri kreatif mulai dilakukan. Studi itu dihelat pertama kali oleh Departemen Perdagangan Republik Indonesia (Depdagri) pada tahun 2007. Pertimbangan kuat perihal urgensi dilakukannya studi ini adalah keberadaan sektor industri kreatif di beberapa negara yang berkontribusi besar pada jumlah gross domestic product (GDP) dan pertumbuhan industri kreatif itu sendiri yang berlangsung relatif tinggi.